BeritaUncategorized

Legalisasi Tambang Rakyat.!! Kuasa BPMA.? Tarik Ulur SKK Migas.? atau Kegagalan Pemerintah Aceh.??

benarkah BPMA tersandera,? ataukah memang pemerintah Aceh tidak mampu mengelola hasil Migas Aceh serta menguatkan hadiah perjuangan yakni butir-butir MoU Helsinki,? atau Pemerintah pusat di bawah  manajemen Pertamina EP belum rela untuk melakukan Carve Out (memisahkan wilayah kerja

ACEH NETWORK | ACEH TIMUR – Tambang rakyat, dengan seluruh potensi dan tantangannya, merupakan wajah dari realitas Provinsi Aceh yang kompleks. Di sini, kita melihat bagaimana masyarakat berusaha memanfaatkan kekayaan alam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, namun juga menghadapi tantangan besar dalam menjaga kelestarian lingkungan dan kompleksitas hukum agar masyarakat tenang mengais rejeki yang secara demokrasi milik mereka tersebut. Kisah tambang rakyat ini adalah kisah tentang bagaimana Pemerintah harus turun tangan secara utuh dan harus berani merangkul potensi tambang rakyat, sekaligus memastikan bahwa pembangunan berjalan sejalan dengan kelestarian alam dan keadilan sosial yang sejalan dengan Harapan, angan dan asa pemilik Negara yakni Rakyat Era Demokrasi.

Perlak raya begitulah sebutan orang terdahulu yang meliputi beberapa wilayah kemukiman atau keulebalangan (Pemerintah daerah yang berada di bawah pemerintahan pusat ), *Setelah mengalami berbagai pergolakan dan pertempuran, Kerajaan Perlak akhirnya bergabung dengan Samudra Pasai pada tahun 1292* sebuah wilayah yang pernah mengabadikan diri sebagai Kerajaan Islam Pertama Asia Tengara yang Dimana Perlak menjadi pusat pemerintahan kerajaan tersebut.

Ada sebuah kisah yang jarang terdengar, bagaimana sebuah wilayah kerajaan yang besar dengan sumber daya alam yang luar biasa, bukan hanya menjadi pusat pemerintahan kerajaan, Perlak juga menjadi pelabuhan niaga yang ramai, dengan banyak kapal besar dari Arab dan Persia yang singgah, kayunya yang berkualitas tinggi untuk bahan utama pembuatan kapal sebagai alat transportasi Dunia saat itu, juga bagaimana Perdagangan yang aktif ikut andil mendorong perkembangan agama Islam di Nusantara, bahkan Sejak abad ke-16 dan 17, minyak sudah dimanfaatkan di Aceh, terutama sebagai bahan bakar dalam peperangan.

Sebuah kisah dan harapan yang hampir menjadi dongeng, bagaimana tidak sumber daya alam yang begitu luar biasa yang belum mampu mensejahterakan masyarakatnya dewasa ini, padahal kalau kita merunut kepada nomenklatur serta kuasa yang sudah tertuang dalam lembaran-lembaran aturan Negara seharusnya Aceh sudah mampu keluar dari label Provinsi termiskin se-sumatera, namun hal tersebut belum mampu dilaksanakan oleh Pemerintah yang sudah memiliki UU sendiri hasil MoU antara pemerintah Republik Indonesia Dan Gerakan Aceh Merdeka, salah satunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khususnya Pasal 160. Pasal ini memberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan bersama Migas, yang kemudian diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015.

Sejak tahun 2021 proses demi proses sudah berjalan untuk bagaimana bertujuan mengukuhkan UU tersebut, tanggal 1 November 2021 Gubernur Aceh saat itu Nova Iriansyah mengeluarkan surat: No.540/18860. kepada Menteri ESDM, lalu tertanggal 26 Januari 2022 menteri ESDM melalui surat, No.T-31/MG.04/MEM.M/2022, menyurati SKK MIGAS, BPMA dan Pertamina EP. untuk menyiapkan time line serta telaah teknis dan non teknis secara menyeluruh terhadap usulan pengalihan sebagian area Wilayah PEP kepada BPMA yang meliputi; Lapangan Rantau, Lapangan Kuala Simpang Barat, Lapangan Kuala Simpang Timur, dan Lapangan Peurelak, Kabupaten Aceh Timur. meski Lapangan Peurelak sudah di KSO-kan oleh Pertamina EP kepada mitranya PT. Aceh Timur Kawai Energi

Dari hasil investigasi atas instruksi Menteri ESDM, tanggal 30 Maret hingga 1 April 2022, BPMA dan Pertamina Ep melaksankan Focus Group Discussion (FGD), kegiatan yang dilaksanakan di Banda Aceh tersebut mengikutsertakan SKK MIGAS, Biro Hukum Kementerian ESDM, Dirjen Migas ESDM dan Pertamina EP sebagai narasumber. Hasilnya, para pihak sepakat akan menggunakan Pasal 90 huruf b, yakni Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2015, sebagai landasan untuk melakukan alih kelola sebagian Wilayah Kerja Pertamina EP di Aceh.

Selang dua tahun kemudian proses pun berlanjut, Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang beroperasi di Wilayah Aceh, memperkenalkan potensi minyak dan gas (Migas) Aceh kepada pengunjung Indonesian Petroleum Association Convention & Exhibition (IPA Convex) 2024, yang berlangsung 14-16 Mei 2024 di ICE BSD City, Tangerang

Setelah kegiatan Ceremonial tersebut hingga saat ini sudah pertengahan 2025 atau hampir empat tahun berjalan, belum juga ada keputusan atau sebuah Landasan jelas bagaimana hasil dari proses tersebut, benarkah BPMA tersandera,? ataukah memang pemerintah Aceh tidak mampu mengelola hasil Migas Aceh serta menguatkan hadiah perjuangan yakni butir-butir MoU Helsinki,? atau Pemerintah pusat di bawah  manajemen Pertamina EP belum rela untuk melakukan Carve Out (memisahkan wilayah kerja). Padahal tuntutan itu sesuai perintah UU. No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dan PP No.23/2015. *Jilid 2* Bersambung. Red

 

baca juga ::::  https://atjehnetwork.com/2025/04/30/kawai-energi-dan…n-disiang-bolong/ ‎

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button