Uncategorized

Asa Masyarakat Dibalik Kemelut HGU PTPN “Jilid 1”

Beragam macam musyawarah pertemuan hinga mediasi yang melibatkan para pihak serta intansi terkait, bahkan pihak-pihak dari perwakilan pusat, termasuk yang difasilitasi oleh Majelis Adat Aceh dan Kejaksaan Tinggi Aceh. Namun konflik terus berlanjut, bahkan setelah masa berlaku HGU berakhir pada Desember 2024 konflik ini belum memiliki titik temu

ACEH NETWORK | Aceh Timur – Sengketa tanah ulayat antara Masyarakat Gampong Seuneubok Bayu dengan PT. PTPN I Julok Rayeuk Utara (JRU), Permasalahan lahan yang telah berlangsung sejak tahun 2013 tersebut belum memiliki solusi pasti meskipun berbagai upaya telah dilakukan namun belum ada kejelasan siapa sebenarnya pemilik resmi lahan seluas 196, Hektare tersebut.

Sengketa tanah ulayat dengan perusahaan perkebunan seringkali terjadi karena klaim hak atas tanah yang berbeda antara masyarakat adat dan perusahaan. masyarakat adat mengklaim tanah berdasarkan hak ulayat yang turun temurun, sementara perusahaan memiliki HGU (Hak Guna Usaha) yang tumpang tindih dengan klaim tersebut. Konflik yang muncul karena ketidakjelasan batas wilayah, pengelolaan lahan yang tidak melibatkan masyarakat adat, atau klaim ganda atas tanah.

Meski Negara memiliki banyak aturan terkait, seperti, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat , Permen ATR/BPN nomor 18 tahun 2016 tentang pengendalian pengusahaan tanah pertanian, Permen (ATR/BPN) Nomor 15 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelepasan Atau Pembatalan Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Pakai (HP), Permen ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2016 mengatur tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, Permen (ATR/BPN) Nomor 21 Tahun 2020 mengatur tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan, Permen ATR/BPN nomor 9 tahun 2022 tentang pelakasanaan Undang-Undang pokjok Agraria secara spesifik, Permen ATR/BPN nomor 14 tahun 2024 tentang penyelengaraan administrasi pertanahan dan pendaftaran tanah hak ulayat masyarakat hukum adat, Permen  ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah, serta PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Konflik berkepanjangan ini telah merugikan masyarakat dan menghambat pembangunan, sementara solusi konkret belum ditemukan.

(History singkat PTPN)

Perusahaan ini memulai sejarahnya di Aceh pada tahun 1961 dengan nama PPN Kesatuan Aceh. Aset perusahaan ini awalnya berupa kebun-kebun swasta di Aceh yang diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 1968, nama perusahaan tersebut diubah menjadi PN Perkebunan I. Pada tahun 1981, status perusahaan tersebut diubah menjadi persero.[4] Pada tahun 1996, perusahaan tersebut digabung dengan aset milik PTP V yang ada di Aceh, serta dengan aset milik PTP II, PTP III, PTP VII, dan PTP IX yang ada di PT Cot Girek Baru, untuk membentuk perusahaan ini dengan nama “PT Perkebunan Nusantara I (Persero)”.

Pada tahun 2010, perusahaan ini menjalin KSO dengan PTPN III untuk mengelola Kebun Karang Inong dan Kebun Julok Rayeuk Selatan. Pada tahun 2011, bersama PTPN IV, perusahaan ini mendirikan PT Agro Sinergi Nusantara untuk berbisnis di bidang agroindustri kelapa sawit.

Pada tahun 2014, pemerintah Indonesia menyerahkan mayoritas saham perusahaan ini ke PTPN III, sebagai bagian dari upaya untuk membentuk holding BUMN yang bergerak di bidang perkebunan. Pada akhir tahun 2023, PTPN II, PTPN VII, PTPN VIII, PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII, dan PTPN XIV resmi digabung ke dalam perusahaan ini, sebagai bagian dari upaya untuk membentuk subholding di internal PTPN III yang bergerak di bidang pendukung bisnis perkebunan  Kantor pusat dari perusahaan ini kemudian dipindah ke Jakarta Selatan.

(Hiostory singkat sengketa)

Sengketa ini bermula pada tahun 2012 saat kelompok masyarakat yang dipimpin oleh Samsul Bahri alias Ucok Cs mengklaim sebagian areal HGU 121/1999 sebagai lahan eks-PIR NES-I Alue Ie Mirah (AIM). Pengukuran ulang atau pengembalian tapal batas oleh BPN telah dilakukan beberapa kali, namun tidak menyelesaikan sengketa.

tahun 2015 masyarakat menyurati pihak PTPN agar dilakukan pengukuran tapal batas, yang pada waktu itu difasilitasi oleh Camat Indra Makmur, akan tetapi lagi-lagi tidak ada titik temu seperti yang diinginkan.Tahun 2016 PTPN I menyurati Pemkab Aceh Timur, namun hingga berjalan 2018 tidak ada balasan apapun dari pihak Pemkab, terkait permintaan perusahaan untuk ambil andil dalam kasus sengketa lahan itu.

Lalu pada 13-Agustus-2018 puluhan masyarakat Dusun Perjuangan mendatangi DPRK Aceh Timur guna melaporkan persoalan sengketa lahan perkebunan mereka dengan pihak PTPN I Julok Utara, Sumardi alias Gendut  Cs, mengatakan kalau lebih kurang 200 hektar lahan garapan masyarakat telah menjadi areal PTPN I Julok Utara, dan di sambut oleh Wakil Ketua I Samsul Akbar, SE, Wakil Ketua II M. Nur, Anggota Komisi C Aidul Azhar dan anggota Komisi E Ir. Kasad di Ruang Sidang B DPRK Aceh Timur.

Pada tahun 2020 Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh Timur, sudah mengeluarkan butir-butir kesepakatan setelah musyawarah dengan para pihak dari PTPN serta masyarakat Desa Seuneubok Bayu, namun pihak perusahaan mengklaim bahwa pengukuran yang dilakukan oleh BPN tampa sepengetahuan dan pelibatan pihak perusahaan PTPN I, namun pihak PTPN hanya dimintai penandatanganan berita acara yang di tolak secara tegas oleh pihak perusahaan karena pengukuran tampa diwakili pihak perusahaan.

Selanjutnya pada Senin, 2 Juni 2025, permasalahan sengketa lahan antara masyarakat Gampong Seuneubok Bayu, Kecamatan Indra Makmur, dengan pihak Perkebunan PTPN I Julok Utara tersebut berlanjut ke mediasi yang langsung dipimpin oleh Bupati Aceh Timur,  Iskandar Usman Al-Farlaky, S.H.I., M.Si.,. Mediasi tersebut berlangsung di Aula Setdakab, dan menghadirkan perwakilan dari berbagai pihak terkait, termasuk masyarakat, PTPN I, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Beragam macam musyawarah pertemuan hinga mediasi yang melibatkan para pihak serta intansi terkait, bahkan pihak-pihak dari perwakilan pusat, termasuk yang difasilitasi oleh Majelis Adat Aceh dan Kejaksaan Tinggi Aceh. Namun konflik terus berlanjut, bahkan setelah masa berlaku HGU berakhir pada Desember 2024 konflik ini belum memiliki titik temu. Bersambung Red

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button