T.A Khalid *Sang Soft Power Diplomacy Ala Pejuang Aceh*
Bumoe syuhada memangil seluruh komponen bangsa untuk bersuara lantang dan Garang menjaga UUPA serta mengawal MoU..!!! Aceh menanti Darah-Darah Peujuang itu kembali lahir di bumoe para Ambia.!!

ACEH NETWORK | Banda Aceh – T.A Khalid itulah pangilan akrab sang pejuang berdarah Aceh kelahiran Meunasah Mee, 25-Februari, 1970. yang kini menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari partai besutan Jenderal TNI (Purn.) H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo, (Presiden Indonesia saat ini) dua periode mewakili Dapil Aceh II di Parlemen.
Sosok santun dan tegas yang sempat menjadi calon Wakil Gubernur Muzakir Manaf (Mualem) pada perhelatan Pilkada 2017 lalu, Kini kembali menguncang pangung politik nasional, Bagaimana tidak.!! sang pioner (pejuang) dan diplomat ulung Aceh yang sempat menjabat sebagai ketua Gerindra Aceh 2013-2022, tersebut bersuara lantang sebagai anggota Badan Legislasi DPR-RI, F-Gerindra, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. RDPU itu juga diikuti oleh mantan Wakil Presiden ke 10 dan 12, Jusuf Kalla dan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi 2004-2007, Hamid Awaluddin, di Jakarta, Kamis (11/9/2025).
“Kalau menyangkut dengan Nasionalisme kami jangan di ragukan, di saat daerah lain tidak mau memberikan apapun untuk kemerdekaan indonesia, kami di aceh menyumbangkan emas dan pesawat. tapi inggat,,!! di saat kami di khianati kami bukanlah bangsa penjilat,,!! Darah kami darah pahlawan.” Tegas T.A Khalid
Kata-kata bak orator ulung yang keluar dari Ketua Forum Bersama (DPR-RI-DPD) tersebut, ibarat tamparan keras kepada seluruh bangsa Aceh. terutama para pemangku kepentingan dan pemerintahan di pusat maupun pemerintah Aceh yang seolah berleha-leha di saat usia perdamaian RI-GAM sekarang berumur dua dekade (20-tahun) dan hampir mencapai batas akhir Transfer Dana Otonomi Khusus dari pusat.
“Revisi UUPA harus sesuai perjanjian MoU Helsinki jangan sampai kami di bohongi untuk ke tiga kali dan lagi-lagi di berikan pepesan kosong (tidak ada solusi kongkrit yang terjadi), seperti perjanjian antara Presiden sukarno dan Teuku Daud Bereueh. Yang disebabkan kekecewaan masyarakat Aceh terhadap berbagai kebijakan dari Pemerintah Pusat sejak awal deklarasi kemerdekaan pada tahun 1945.”
Di tambah lagi oleh peleburan Aceh ke dalam provinsi Sumatera Utara pada tahun 1950. hingga melahirkan DI-TII Aceh, 20-September-1953 akibat kemarahan rakyat dan menentang kebijakan pusat yang menuntut dikembalikannya status provinsi Aceh yang otonom dan hak untuk menerapkan syariat islam secara Kaffah (tampa terkecuali).
Berselang 4 tahun pemberontakan yakni pada 8-April-1957, Pemerintah Indonesia dan kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Daud Beureueh, terjadilah kesepakatan damai melalui ikrar Lamteh yang menghasilkan tiga poin utama: kemajuan agama Islam, pembangunan Aceh, dan kemakmuran rakyat, dan mengakhiri perjuangan DI/TII pada tahun 1959. dengan pengukuhan Daerah Istimewa Aceh dan hak untuk menerapkan syariat Islam sebagai aturan provinsi. yang di kuatkan melalui Keputusan Perdana Menteri RI yang memberikan hak otonomi luas dan diresmikan pada tanggal 7 Desember 1959. Setelah itu, status otonomi khusus lebih lanjut disahkan melalui undang-undang, termasuk UU No. 18 Tahun 2001.
“Selanjutnya konflik terpanjang yang terjadi dan dirasakan oleh rakyat aceh yang memakan waktu hampir tiga Dekade (30 tahun) dan memakan korban jiwa 16,364 dari Gam dan Rakyat Aceh *sumber Wikipedia*. melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia yang di motori dan di Deklarasikan Wali Nangroe ke-8, Dr. Teungku Hasan Muhammad di Tiro, M.S., M.A., LL.D., Ph.D, 04-Desember1976.
Yang bermula dari beberapa faktor utama termasuk penganiayaan historis, perbedaan pendapat mengenai hukum Islam, ketidakpuasan terhadap distribusi kekayaan sumber daya alam Aceh, dan peningkatan jumlah orang Jawa di Aceh, serta faktor lainya. hinga terjadi kesepakatan Damai. pada tgl 15-Agustus-2005, di Helsinki, dan melahirkan tujuh puluh satu (71 pasal) dalam Nota kesepahaman tersebut. jangan sampai perjanjian MoU ini juga menjadi pepesan kosong.” Tegas tokoh Aceh bernama lengkap Ir. H. Teuku Abdul Khalid, M.M.,
Dengan nada tegas serta ulasan terperinci tersebut yang akhirnya mendapat tanggapan dari mantan wakil presiden Yusuf Kalla dan Banleg yang menyetujui revisi kembali UUPA No 6 tahun 2006 yang harus sesuai dengan nilai-nilai dan Dekrit awal MoU Helsinki.
Tidak hanya tokoh perdamaian sekaliber Yusuf Kalla, namun seruan peringatan yang mengetarkan jiwa dan menyadarkan publik terhadap bagaimana dan siapa bangsa aceh sebenarnya serta seruan untuk memperjuagakan nilai perjuangan dan perdamaian melalui ranah politik yakni UUPA kini bergema dan menyentuh Nurani semua pihak. dan suara Garang itu pula yang membangkitkan kembali semangat juang serta empati dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan pejuang pergerakan Aceh Merdeka, tokoh masyarakat, Akademisi dan bahkan tokoh Agama sekaliber Abiya Kuta Krueng ketua pusat Himpunan Ulama Dayah (HUDA), ikut bersuara mengajak semua pihak untuk mengawal UUPA dan perjuangan Bangsa Aceh.
Mari kita semua bersatu padu untuk membela kewenangan aceh yang telah ditoreh dalam perjanjian damai MoU Helsenki. Tidak cukup kuat TA.Khalid sendiri. Harus ada dan lebih banyak lagi TA.Khalid-TA.Khalid lainnya yang berani berdiri lantang demi Marwah dan kesejahteraan tanah Indatu…!!
Bumoe syuhada memangil seluruh komponen bangsa untuk bersuara lantang dan Garang menjaga UUPA serta mengawal MoU..?? Aceh menanti Darah-Darah Peujuang itu kembali lahir di bumoe para Ambia.!!